Total Tayangan Halaman

Rabu, 07 Agustus 2013

Melacak Jejak Sejarah Melalui Folktor Mitologi Legenda dan Upacara


Melacak Jejak Sejarah Melalui Folktor Mitologi Legenda dan Upacara-Berbagai bentuk tradisi lisan dapat dilacak oleh kita yang hidup pada masa ini. Bentuktradisi lisan meliputi folklor, mitologi, legenda, upacara, dan lagu. Dalam melacaktradisi lisan tersebut dapat kita lakukan,
baik secara langsung masuk ke dalam pergaulan masyarakat pemilik atau pendukung tradisi tersebut maupun cukup dengan mendengarkan penuturan dari si penutur tradisi lisan tersebut. Dalam melacak bentuk-bentuk tradisi lisan tersebut, sudah tentu kita tidak akan mencari kebenaran faktanya. Hal yang kita pentingkan ialah bagaimana nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam cerita tradisi lisan tersebut.

1.    Folklor

Sebelum mengenal contoh-contoh tradisi lisan, sebaiknya kamu mengenal dulu pengertiannya, supaya dapat membedakan antara bentuk yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan asal katanya, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi. Di samping itu, yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore diartikan sebagai tradisi darifolk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Pengertian folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu. James Dananjaya (seorang ahli folklor) menyebutkan sembilan ciri folklore, yaitu sebagai berikut.
  1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
  2. Tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
  3. Ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi, folklore dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
  4. Anonim, yaitu penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
  5. Mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya, selalu menggunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti “sohibul hikayat… dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut empunya cerita… demikianlah konon”.
  6. Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
  7. Pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklore lisan dan sebagian lisan.
  8. Milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
  9. Bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai berikut:
  1. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.
  2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
  3. Sebagai alat pendidik anak.
  4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Sebagaimana telah dikemukakan, manusia praaksara telah memiliki kesadaran sejarah. Salah satu cara kita untuk melacak bagaimana kesadaran sejarah yang mereka miliki ialah dengan melihat bentuk folklore. Bentuk folklore yang berkaitan dengan kesadaran sejarah adalah cerita prosa rakyat. Termasuk prosa rakyat antara lain mite atau mitologi dan legenda.

a.    Mitologi

Ciri penting dari mitologi ialah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Tokoh yang ditampilkan dalam mitologi biasanya berupa para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa yang dikisahkan dalam mitologi berupa terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam, dan sebagainya. Selain itu, mitologi juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan dewa, hubungan kekerabatan para dewa, kisah perang para dewa, dan sebagainya. Cerita tentang sesuatu hal yang berbentuk mitologi pada setiap daerah terkadang ada yang sama, tetapi ada pula cerita itu yang hanya dimiliki oleh daerah tersebut. Salah satu cerita yang isinya sama, yaitu cerita tentang asal usul beras yang dikaitkan dengan cerita Dewi Sri. Hampir seluruh daerah di Indonesia, mitologi tentang beras selalu dikaitkan dengan cerita Dewi Sri. Walaupun tema ceritanya sama, yaitu Dewi Sri, tetapi setiap daerah memiliki cerita yang berbeda tentang tokoh Dewi Sri ini.
Baiklah, berikut ini akan sedikit disampaikan cerita tentang Dewi Sri dengan versi cerita yang berbeda. Menurut versi di daerah Surabaya, Dewi Sri adalah seorang putri dari Kerajaan Purwacarita. Ia mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Sadana. Pada suatu hari selagi tidur, kedua anak raja itu disihir oleh ibu tiri mereka. Sadana diubah menjadi seekor burung layang-layang, dan Sri diubah menjadi ular sawah. Dengan demikian, Sri menjadi dewi padi dan kesuburan. Ada pula daerah lain, memili versi yang berbeda tentang cerita Dewi Sri. Menurut ceritanya, padi berasal dari jenazah Dewi Sri, istri Dewa Wisnu. Selain padi masih ada tanaman-tanaman lainnya, yang juga berasal dari jenazah Dewi Sri. Dari tubuhnya tumbuh pohon aren, dari kepalanya tumbuh pohon kelapa, dari kedua tangannya tumbuh pohon buah-buahan, dan dari kedua kakinya tumbuh tanaman akar-akaran seperti ubi jalar dan ubi talas. Dewi Sri meninggal karena dirongrong terus-menerus oleh raksasa yang bernama Kala Gumarang.
Raksasa ini wataknya sangat keras hati, sehingga setelah meninggal ia masih berkesempatan untuk menjelma menjadi rumput liar, yang selalu mengganggu tanaman padi (jelmaan Dewi Sri), yang menjadi kecintaannya itu.
Dari contoh mitologi tentang Dewi Sri tersebut, menunjukkan bagaimana masyarakat pada masa sebelum tulisan menjelaskan tentang asal usul padi sebagai suatu bentuk kejadian alam. Kita tidak bisa melacak dengan menggunakan sumber-sumber tertulis, sebab tidak ditemukan sumber-sumbernya. Yang kita temukan adalah suatu cerita rakyat tentang Dewi Sri dalam bentuk tradisi lisan. Cerita ini sudah mengalami pewarisan dari generasi ke generasi. Bahkan sampai sekarang di beberapa daerah, tokoh Dewi Sri dianggap sebagai dewi yang memberi kesuburan pada penanaman padi, sehingga kalau habis panen diadakan upacara sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Dewi Sri.

b.    Legenda

Legenda merupakan cerita rakyat yang memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai berikut.
1)      Oleh yang empunya cerita dianggap sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi.
2)      Bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Tokoh utama dalam legenda adalah manusia.
3)      “Sejarah” kolektif, maksudnya sejarah yang banyak mengalami distorsi karena seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya.
4)      Bersifat migration yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.
5)    Bersifat siklus, yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau kejadian tertentu, misalnya di Jawa legenda-legenda mengenai Panji. Legenda dapat dibagi ke dalam empat jenis, yaitu legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat.
1)    Legenda keagamaan
Legenda yang ceritanya berkaitan dengan kehidupan keagamaan disebut denganlegenda keagamaan. Legenda ini misalnya legenda tentang orangorang tertentu. Kelompok tertentu misalnya cerita tentang para penyebar Islam di Jawa. Kelompok orang-orang ini di Jawa dikenal dengan sebutan walisongo. Mereka adalah manusia biasa, tokoh yang memang benar-benar ada, akan tetapi dalam uraian ceritanya ditampilkan sebagai figur-figur yang memiliki kesaktian. Kesaktian yang mereka miliki digambarkan di luar batas-batas manusia biasa.
Sebutan wali songo ada yang menafsirkan bukan berarti sembilan dalam arti jumlah, tetapi angka sembilan itu sebagai angka sakral. Penafsiran ini didasarkan pada kenyataan adanya para tokoh penyebar Islam yang lainnya. Mereka berada di tempat-tempat tertentu. Masyarakat setempat biasanya memandang tokoh tersebut kedudukannya sama atau sederajat dengan tokoh wali yang sembilan orang. Tokoh-tokoh tersebut seperti Syekh Abdul Muhyi, Syekh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang, Pangeran Panggung, dan lain-lain. Syekh Abdul Muhyi dipercayai oleh masyarakat di Tasikmalaya khususnya sebagai salah seorang wali yang menyebarkan agama Islam. Menurut cerita masyarakat setempat, dia dilahirkan di Mataram. Ia adalah putra Kiai Syekh Lebe Kusuma dari Kerajaan Galuh di Jawa Timur. Bahkan dari beberapa sumber setempat, silsilah keturunan Syekh Abdul Muhyi sampai menginduk kepada Nabi Muhammad saw.
 Gambar 2.1 Makam Syekh Abdul Muhyi tokoh legenda
Gambar 2.1 Makam Syekh Abdul Muhyi tokoh legenda penyebar agama Islam di Tasikmalaya
Makam Syekh Abdul Muhyi terdapat di Pamijahan sebelah Selatan Kota Tasikmalaya. Situs yang ditemukan dari tokoh ini adalah adanya makam dan gua yang dipercayai sebagai tempat Syekh Abdul Muhyi melakukan pembinaan kepada murid-muridnya untuk kemudian menyebarkan agama Islam di daerah Tasikmalaya. Menurut beberapa sumber, Syekh Abdul Muhyi dalam memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat dengan cara memberikan contoh bagaimana menanam padi yang baik. Penanaman padi yang dilakukan oleh Syekh Abdul Muhyi selalu memperlihatkan hasil yang baik, sehingga masyarakat di sekitarnya merasa tertarik untuk mengikutinya
Mengenai pola penyebaran agama Islam di Tasikmalaya diperkirakan dengan menggunakan jaringan Pesantren. Berdasarkan situs yang ditemukan di Pamijahan, Syekh Abdul Muhyi mendirikan mesjid di daerah tersebut dan membina para muridnya. Gua yang ada di Pamijahan tersebut, diperkirakan berfungsi sebagai pesantren tempat mendidik murid-muridnya. Dari sinilah kemudian para muridnya menyebarkan agama Islam ke pelosok lainnya di Tasikmalaya, dengan cara mendirikan pesantren-pesantren. Kehadiran pesantren-pesantren yang sekarang begitu banyak tersebar di wilayah Tasikmalaya, menjadi suatu bukti adanya jaringan penyebaran Islam di Tasikmalaya.
Sebagaimana umumnya para wali penyebar Islam di Jawa, tarekat merupakan saluran ajaran dalam menyebarkan Islam. Syekh Abdul Muhyi adalah seorang penganut ajaran tarekat, yaitu tarekat Nabawiyah. Melalui pesantren-pesantren yang didirikan, ajaran tarekat menyebar kepada masyarakat.
Masyarakat setempat mempercayai bahwa Syekh Abdul Muhyi memiliki kesaktian yang tidak dimiliki sebagaimana lazimnya manusia biasa. Masyarakat setempat mempercayai bahwa Syekh Abdul Muhyi sering melakukan salat Jumat di Mekah. Salah satu bukti yang dipercayai oleh masyarakat setempat, yaitu adanya lubang yang terdapat dalam gua tempat makam Syekh Abdul Muhyi. Melalui lubang inilah adanya jalan menuju ke Mekah. Sunan Geseng makamnya terletak di daerah Tirta, Grabak, Magelang, Jawa Tengah. Menurut legendanya, Sunan Geseng bernama Haji Abdurrahman. Ia berasal dari Desa Krendetan (Bagelen, Kedu Sejarang) di Jawa Tengah. Beliau adalah putra Kyai Kuat dan murid Sunan Kalijaga. Beliau mendapat julukan “geseng”, yang berarti hangus karena pernah terbakar seluruh tubuhnya di dalam suatu kebakaran hutan, tetapi secara mukzijat dapat selamat.
Ki Pandan Arang, menurut legenda setempat adalah seorang wali dari Desa Tembayat terletak di Klaten Selatan Jawa Tengah. Karena pada hidupnya sudah saleh, maka setelah wafat, makamnya menjadi keramat yang banyak dipuja orang. Makam Pangeran Panggung di sekitar alun-alun Kota Tegal dianggap suci oleh penduduk setempat. Menurut legendanya pangeran ini adalah putra Sunan Bonang (salah seorangwalisongo). Ia dan kedua anjing kesayangannya dihukum mati oleh pengadilan agama Islam dengan cara dibakar. Dosanya ialah karena ia sering terlihat membawa dua ekor anjingnya ke dalam mesjid. Mula-mula berkat kesaktiannya, ia dan kedua anjingnya tidak dapat termakan oleh api dan baru dapat terbakar mati setelah ia merelakan dirinya untuk mati. Menurut kepercayaan penduduk setempat, dua anjing itu sebenarnya adalah jelmaan nafsunya yang tidak terkendali.
Di Desa Pamlaten dekat Cirebon Jawa Barat, ada sebuah makam keramat. Menurut penduduk setempat, makam itu adalah makam Syekh Siti Jenar, salah seorang wali terkemuka yang telah dihukum mati oleh para walisongo karena melakukan ajaran yang menyimpang. Menurut legendanya, sebelum ia menarik napasnya yang terakhir, ia mengutuk keturunan pengikut para wali terkemuka, yang menjadi anggota dewan pengadilan itu. Syekh Siti Jenar mengutuk mereka agar kelak dijajah oleh kerbau putih. Kerbau putih itu oleh orang Jawa pada kemudian hari ditafsirkan sebagai orang Belanda yang berkulit putih itu. Isi legenda terkadang memiliki kesamaan, misalnya legenda Syekh Siti Jenar yang berupa ramalan bahwa penduduk Jawa akan dijajah Belanda. Ramalan Syekh Siti Jenar memiliki kesamaan dengan Legenda Syekh Bolebo seorang petapa. Menurut legenda ini, petapa itu telah dibunuh oleh kawan sepetapa yang bernama Sek Dani Akin. Sek Akin mendengar kutukan Syekh Bolebo yang menyatakan kelak keturunan Sek Dani Akin dijajah orang kulit putih yang berambut pirang dan bermata biru. Pada masa penjajahan itu, keturunannya (penduduk Jawa) akan sengsara. Penjajah itu adalah orang Londo (Belanda). Masa itu dapat dikatakan zaman walikan, yaitu zaman masa kembalinya ke masa penyembahan berhala.
2)    Legenda alam gaib
Bentuk kedua yaitu legenda alam gaib. Legenda ini biasanya berbentuk  kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan rakyat. Jadi, legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala-gejala alam gaib, dan sebagainya. Contoh legenda alam gaib misalnya, di Bogor Jawa Barat ada legenda tentang mandor Kebun Raya Bogor yang hilang lenyap begitu saja sewaktu bertugas di Kebun Raya. Menurut kepercayaan penduduk setempat, hal itu disebabkan ia telah melangkahi setumpuk batu bata yang merupakan bekas-bekas pintu gerbang Kerajaan Pajajaran. Pintu gerbang itu, menurut kepercayaan penduduk setempat, terletak di salah satu tempat di kebun raya. Tepatnya tidak ada yang mengetahui. Oleh karenanya, penduduk di sana menasihati para pengunjung Kebun Raya, agar jangan melangkahi tempat antara tumpukan-tumpukan batu bata tua, karena ada kemungkinan bahwa di sanalah bekas pintu gerbang kerajaan zaman dahulu itu. Jika kita melanggarnya, maka kita akan masuk ke daerah gaib dan tidak dapat pulang lagi ke dunia nyata.
Hampir di setiap masyarakat di Indonesia terdapat legenda tentang alam gaib, yaitu legenda tentang hantu. Salah satunya ialah cerita tentang hantu yang beredar di masyarakat Cina di Surabaya. Legenda ini mengenai hantu seorang peranakan Cina, istri seorang dokter. Istri dokter tersebut meninggal karena kecelakaan ketika mengendarai mobil sport tanpa kap. Mobilnya menubruk pohon asam.
3)    Legenda perseorangan
Legenda ini adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. Contoh legenda ini misalnya tokoh Panji di Jawa Timur. Menurut legenda Panji adalah seorang putra Kerajaan Kuripan (Singhasari) di Jawa Timur. Dia senantiasa kehilangan istrinya. Cerita tentang tokoh Panji selalu bertemakan perihal pencarian istrinya yang telah menyatu atau menjelma menjadi wanita lain. Di Bali ada legenda perseorangan, yaitu legenda tokoh populer yang bernama Jayaprana. Dalam legenda ini diceritakan bahwa di desa kecil Kalianget, terletak di Kabupaten Buleleng Bali Utara, ada suatu keluarga yang terjangkit penyakit menular. Semua anggota keluarga meninggal akibat penyakit tersebut, kecuali seorang putra yang bernama Jayaprana. Jayaprana yang telah sebatangkara itu, kemudian dipelihara oleh Raja Buleleng yang bergelar Anak Agung. Setelah dewasa dan telah cukup berjasa terhadap yang dipertuannya, ia mendapat izin untuk menikah dengan wanita pilihannya sendiri yang bernama Ni Nyoman Layon Sari.
Layon Sari ternyata seorang wanita yang cantik, sehingga raja pun tertarik oleh kecantikannya. Akhirnya raja membuat suatu rencana yang keji dengan tujuan untuk merebut Ni Nyoman Layon Sari dan melenyapkan Jayaprana. Sang raja kemudian menugaskan kepada Jayaprana untuk menumpas perompak di pantai paling utara Pulau Bali. Perintah itu sebenarnya hanya suatu tipu muslihat saja, karena selain mengutus Jayaprana, Sang Raja telah memerintahkan secara rahasia kepada perdana menterinya agar setibanya di daerah yang bernama Celuk Terima, Jayaprana supaya dibunuh.
Sesampainya di daerah Celuk Terima, Jayaprana kemudian dibunuh. Selesai mengerjakan tugas keji itu, perdana menteri pulang kembali ke ibu kota. Selama perjalanan pulang, perdana menteri dan pengiringnya mengalami banyak gangguan alam, karena para dewa tidak rela akan kematian Jayaprana.  Pada akhirnya Sang Raja pun tidak berhasil memperistri Layon Sari, sebab putri telah membunuh diri sebelum dapat didekati Sang Raja. Layon Sari bersedia mati agar dapat menyusul suaminya yang sangat ia cintai itu.
4)    Legenda setempat
Legenda ini adalah legenda yang ceritanya berhubungan erat dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, dan sebagainya. Di Jawa Barat terdapat legenda setempat misalnya legenda tentang asal usul nama Kuningan. Tempat ini merupakan suatu kabupaten yang letaknya di lereng Gunung Ceremai. Legenda asal usul nama Kuningan dikaitkan dengan kehadiran seorang tokoh penyebar Islam, yaitu Sunan Gunung Jati.
Menurut legenda setempat tentang asal usul Kuningan, Sunan Gunung Jati telah bertemu dengan kaisar Tiongkok. Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk menyebarkan agama Islam ke Cina. Kaisar ini seorang Tartar. Untuk menguji kesaktiannya, kaisar Tiongkok telah menanyakan apakah putrinya pada waktu itu sedang mengandung. Jawab sang Wali tanpa ragu-ragu adalah “Ya!”. Bahkan menurutnya, putri itu akan melahirkan seorang putra pada waktu dua atau tiga bulan lagi.
Mendengar jawaban ini, murkalah sang Kaisar karena ia tahu dengan pasti bahwa putrinya masih perawan pada waktu itu. Kesan yang diperoleh sang Wali bahwa putri kaisar sudah berbadan dua itu sebenarnya adalah tipuan yang dibuat para dayang keraton, yang mengisi pakaian sang Putri di bagian perutnya dengan bantal.
Karena jawabannya yang ngawur itu, sang Wali dituduh sebagai wali palsu. Sebagai hukumannya, sang Wali diceburkan ke dalam laut. Berkat rahmat Allah, sang Wali dapat selamat dibawa arus laut sehingga dapat terdampar ke Pantai Cirebon, yang memang merupakan tempat kediamannya. Ong Tien Nio, demikianlah nama putri kaisar itu, sangat sedih sewaktu mendengar bahwa orang yang saleh itu telah dihukum oleh ayahandanya dan lebih kesal lagi karena ternyata ia memang hamil secara mukzijat. Mengetahui hal ini, kaisar sangat menyesali perbuatannya mempermainkan orang saleh. Untuk menebus dosanya, ia kemudian mengirim putrinya ke Cirebon untuk dinikahkan dengan Sunan Gunung Jati.
Setelah menjadi istri Sunan Gunung Jati, Ong Tien Nio kemudian melahirkan putranya, yang diperolehnya secara gaib itu. Putranya itu dilahirkan di suatu kota yang terletak di lereng Gunung Ceremai. Pangeran kecil itu diberi nama Aria Kemuning, karena warna kulit tubuhnya kuning muda; dan kota tempat kelahirannya itu kemudian diberi nama Kuningan. Sampai masa ini di Kuningan masih ada suatu makam, yang dianggap sebagai makam Aria Kemuning. Makam itu sampai saat ini masih banyak diziarahi orang.
Contoh lain dari legenda setempat adalah legenda tentang Gunung Tangkuban Perahu di Bandung. Gunung ini diberi nama Tangkuban Perahu karena bentuknya mirip perahu yang terbalik (nangkub = terbalik). Cerita gunung ini dikaitkan dengan nama seorang tokoh yang bernama Sangkuriang yang mencintai seorang wanita bernama Dayang Sumbi. Sangkuriang sendiri tidak mengetahui bahwa wanita itu adalah ibunya sendiri. Dalam legenda Sangkuriang ini, dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ada seorang raja yang tidak mempunyai anak. Nama raja itu adalah Prabu Barmawijaya. Kerajaannya termasuk suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Priangan di Jawa Barat. Pada waktu raja sedang berburu, ia ingin buang air kecil dan tanpa disengaja air seninya tertampung dalam sebuah tempurung kelapa yang kebetulan berada di tempat ia kencing. Kemudian air seninya itu diminum oleh seekor babi hutan betina putih yang sedang haus. Sebagai akibatnya, sang babi mengandung dan tidak lama melahirkan seorang anak manusia berjenis kelamin wanita yang jelita sekali. Anak bayi itu kemudian ditemukan oleh Baginda yang telah membuang air kencing itu dan dibawa pulang untuk dipungut menjadi putrinya. Putri itu diberi nama Dayang Sumbi. Setelah dewasa, Dayang Sumbi menyendiri di hutan. Di tempat itu ia menyibukkan dirinya dengan jalan menenun kain. Sekali waktu selagi menenun, tanpa disengaja, anak toraknya terjatuh masuk ke kolong rumah panggungnya melalui celah yang ada di lantainya. Karena keletihan yang disebabkan oleh udara yang panas, ia malas untuk bergerak dari tempat duduknya.
Dalam kemalasannya itu, tanpa pikir-pikir lagi ia telah mengeluarkan janji yang berbunyi “Siapa saja yang mau memungut anak torak saya, jika ia perempuan akan saya angkat sebagai saudara perempuan saya, dan jika ia laki-laki akan saya angkat menjadi suami saya”. Celakanya, yang menanggapi tawarannya itu ternyata anjing kesayangannya yang bernama si Tumang dan kebetulan sekali berjenis kelamin jantan. Karena janji bertuah telah diucapkan, si Tumang kemudian dijadikan suami sang Putri. Dari perkawinan ini, seorang anak manusia berjenis kelamin laki-laki telah dihasilkan. Putranya itu ternyata memiliki wajah yang tampan sekali dan oleh ibunya diberi nama Sangkuriang.
Ketika Sangkuriang berusia sebelas tahun, ia diusir ibunya dari rumah mereka. Pengusiran ini disebabkan Sangkuriang telah menyajikan kepada ibunya jantung si Tumang yang ia panggang. Anjing yang bernama si Tumang itu, yang sebenarnya adalah ayah kandung Sangkuriang, telah ia bunuh dalam suatu perburuan, karena anjing itu telah menolak untuk membunuh seekor babi hutan betina putih. Si Tumang menolak itu, karena ia mengetahui bahwa babi itu adalah Nyi Celeng Putih, ibu kandung Dayang Sumbi. Jadi, babi itu adalah mertua si Tumang dan nenek Sangkuriang dari pihak ibu. Karena perbuatannya ini, Sangkuriang diusir oleh ibunya yang telah lupa diri itu. Sangkuriang baru kembali ke kampungnya setelah menjadi dewasa. Setiba di kampung halamannya itu, ia bertemu dengan seorang wanita yang cantik jelita, sehingga ia jatuh hati kepadanya. Cintanya dibalas oleh wanita itu. Namun kemudian wanita itu mengetahui bahwa laki-laki itu adalah putra kandungnya sendiri yang telah berpisah dengannya sewaktu masih kanak-kanak dahulu. Identitas pemuda ini dapat diketahui karena ketika ia sedang mencari kutu di kepala sang pemuda itu, Dayang Sumbi menemukan bekas luka akibat pukulan yang diberikannya sewaktu si putra itu menyediakan jantung panggang si Tumang.
Untuk menghindarkan diri dari perkawinan dengan anak kandungnya, Dayang Sumbi menyuruh Sangkuriang membuat perahu dalam waktu satu malam, yang akan mereka pergunakan untuk berlayar setelah perkawinan nanti. Karena Sangkuriang adalah seorang yang sakti, maka tugas yang mustahil itu sanggup ia kerjakan. Namun, hal itu tidak dapat terlaksana, karena disabot oleh Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi berhasil menggagalkan pekerjaan putranya dengan jalan tipu muslihat. Ia telah menyebabkan ayam-ayam jago di desanya untuk berkokok pada tengah malam dengan jalan menumbuk padi, sehingga ayam-ayam itu mengira pagi telah tiba. Selain itu, Dayang Sumbi membuat fajar menyingsing di ufuk Timur dengan jalan melambai-lambaikan selendang putih di sana.
Sangkuriang sangat kecewa setelah mengira bahwa tugasnya telah gagal. Dalam kekesalannya itu, ia telah menyepak perahu yang hampir rampung itu, sehingga perahu itu menjadi terbalik dan menimpa dirinya sendiri. Perahu yang telah terbalik itulah yang kemudian menjadi Gunung Tangkuban Prahu. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hal yang terpenting bagi penelitian sejarah tradisi lisan bukan kebenaran faktanya. Untuk mencari kebenaran faktanya sangatlah sulit, apalagi sumber-sumber tertulis, karena kemungkinan pada awal pertama kali cerita-cerita itu dikenal dalam masyarakat, belum mengenal tradisi menulis. Bahkan cerita-cerita itu banyak dibumbui oleh hal-hal yang sepertinya sulit bisa masuk akal atau tidak rasional. Misalnya tokoh Sangkuriang lahir dari seekor binatang. Hal terpenting bagi kita adalah bahwa masyarakat Indonesia sudah sejak lama memiliki kesadaran tentang pengalaman masa lalunya. Masyarakat memaknai pentingnya suatu perubahan dalam kehidupan masa lalu. Contoh-contoh tradisi lisan tersebut sampai sekarang masih banyak dianut oleh masyarakat, walaupun masyarakat sekarang hidup dalam suatu masa ketika orang sudah mengenal tulisan. Melalui tradisi lisan, masyarakat Indonesia mencoba mengungkap tentang asal usul sesuatu baik peristiwa alam maupun peristiwa pada diri manusia.
2.    Upacara
Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara yang dimaksud bukanlah upacara dalam pengertian upacara yang secara formal sering dilakukan, seperti upacara penghormatan bendera. Melacak melalui upacara, yaitu upacara yang pada umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Upacara pada dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan lain-lain. Contoh upacara tersebut adalah upacara atau semacam perayaan penghormatan terhadap Dewi Sri yang hidup di masyarakat daerah pertanian.
Cerita Dewi Sri adalah cerita tentang asal usul Padi. Biasanya upacara ini dilaksanakan pada masa akhir panen. Pada masyarakat yang hidup di daerah pantai, terdapat upacara penghormatan kepada dewi penguasa laut yaitu Nyi Roro Kidul. Seperti halnya dalam upacara Dewi Sri, dalam upacara ini juga diadakan sesajen yang ditujukan kepada Nyi Roro Kidul. Tujuan dari upacara ini adalah agar Nyi Roro Kidul selalu memberikan perlindungan dan keberkahan kepada para nelayan selama mereka menangkap ikan di laut. Selain upacara yang ditujukan kepada tokoh-tokoh yang bersifat mitos (Nyi Roro Kidul dan Dewi Sri) terdapat pula upacara yang memiliki nilai sejarah yang berkaitan dengan peristiwa tertentu. Upacara tersebut, misalnya upacara “Grebeg Mulud”, yang dilaksanakan di Keraton Jogyakarta. Upacara ini memiliki nilai historis, terutama berkaitan dengan proses islamisasi. Kegiatan seperti ini biasanya dilakukan pada setiap bulan Maulid, suatu bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. Upacara sejenis dilakukan pula di Keraton Cirebon. Selain upacara Grebeg Mulud, di daerah Panjalu terdapat upacara yang disebut dengan upacara “Nyangku”. Upacara ini dilakukan dalam kaitannya dengan proses islamisasi yang dilakukan di daerah tersebut dengan tokohnya yang terkenal bernama “Borosngora”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar